watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

AKU TAK PANTAS MENCINTAIMU

Aku Tak Pantas Mencintaimu
Lima bulan sudah aku bekerja sebagai seorang
pembantu rumahtangga di keluarga Pak Rahadi.
Aku memang bukan seorang yang makan ilmu
bertumpuk, hanya lulusan SD. Tetapi karena niatku
untuk bekerja memang sudah tidak bisa ditahan
lagi, akhirnya aku pergi ke kota Surabaya, dan
beruntung bisa memperoleh majikan yang baik
dan bisa memperhatikan kesejahteraanku. Sering
terkadang aku mendengar kisah tentang nasib
beberapa orang pembantu rumah tangga di
kompleks perumahan. Ada yang pernah ditampar
majikannya, atau malah bekerja seperti seekor sapi
perahan saja.
Ibu Rahadi pernah bilang bahwa beliau
menerimaku menjadi pembantu rumahtangganya
lantaran usiaku yang relatif masih muda. Beliau tak
tega melihatku luntang-lantung di kota metropolis
ini. “Jangan-jangan kamu nanti malah dijadikan
wanita panggilan oleh para calo WTS yang tak
bertanggungjawab.” Itulah yang diucapkan beliau
kepadaku.
Usiaku memang masih 18 tahun dan terkadang aku
sadar bahwa aku memang cantik, berbeda dengan
para gadis desa asalku. Pantas saja jika Ibu Rahadi
berkata begitu terhadapku.
Namun akhir-akhir ini ada sesuatu yang
mengganggu pikiranku, yakni tentang perlakuan
Mas Rizal terhadapku. Mas Rizal adalah anak bungsu
keluarga Bapak Rahadi. Dia masih kuliah di
semester 6, sedangkan kedua kakaknya telah
berkeluarga. Mas Rizal baik dan sopan terhadapku,
hingga aku jadi rikuh bila berada di dekatnya.
Sepertinya ada sesuatu yang bergetar di tubuhku.
Jika aku ke pasar, Mas Rizal tak segan untuk
mengantarkanku. Bahkan ketika naik mobil aku
tidak diperbolehkan duduk di jok belakang, harus di
sampingnya. Ahh… Aku selalu jadi merasa tak
nikmat. Pernah suatu malam sekitar pukul 20.00,
Mas Rizal hendak membikin mie instan di dapur,
aku bergegas mengambil alih dengan alasan bahwa
yang dilakukannya pada dasarnya adalah tugas dan
kewajibanku untuk bisa melayani majikanku. Tetapi
yang terjadi Mas Rizal justru berkata kepadaku,
“Nggak usah, Santi. Biar aku saja, anggak apa-apa
kok…”
“Nggak… nggak apa-apa kok, Mas”, jawabku
tersipu sembari menyalakan kompor gas.
Tiba-tiba Mas Rizal menyentuh pundakku. Dengan
lirih dia berucap, “Kamu sudah capek seharian
bekerja, Santi. Tidurlah, besok kamu harus bangun
khan..”
Aku hanya tertunduk tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mas Rizal kemudian melanjutkan memasak. Namun
aku tetap termangu di sudut dapur. Hingga kembali
Mas Rizal menegurku.
“Santi, kenapa belum masuk ke kamarmu. Nanti
kalau kamu kecapekan dan terus sakit, yang repot
kan kita juga. Sudahlah, aku bisa masak sendiri
kalau hanya sekedar bikin mie seperti ini.”
Belum juga habis ingatanku saat kami berdua
sedang nonton televisi di ruang tengah, sedangkan
Bapak dan Ibu Rahadi sedang tidak berada di
rumah. Entah kenapa tiba-tiba Mas Rizal
memandangiku dengan lembut. Pandangannya
membuatku jadi salah tingkah.
“Kamu cantik, Santi.”
Aku cuma tersipu dan berucap,
“Teman-teman Mas Rizal di kampus kan lebih
cantik-cantik, apalagi mereka kan orang-orang kaya
dan pandai.”
“Tapi kamu lain, Santi. Pernah tidak kamu
membayangkan jika suatu saat ada anak majikan
mencintai pembantu rumahtangganya sendiri?”
“Ah… Mas Rizal ini ada-ada saja. Mana ada cerita
seperti itu”, jawabku.
“Kalau kenyataannya ada, bagaimana?”
“Iya… nggak tahu deh, Mas.”
Kata-katanya itu yang hingga saat ini membuatku
selalu gelisah. Apa benar yang dikatakan oleh Mas
Rizal bahwa ia mencintaiku? Bukankah dia anak
majikanku yang tentunya orang kaya dan
terhormat, sedangkan aku cuma seorang
pembantu rumahtangga? Ah, pertanyaan itu selalu
terngiang di benakku.
Tibalah aku memasuki bulan ke tujuh masa
kerjaku. Sore ini cuaca memang sedang hujan
meski tak seberapa lebat. Mobil Mas Rizal memasuki
garasi. Kulihat pemuda ini berlari menuju teras
rumah. Aku bergegas menghampirinya dengan
membawa handuk untuk menyeka tubuhnya.
“Bapak belum pulang?” tanyanya padaku.
“Belum, Mas.”
“Ibu… pergi..?”
“Ke rumah Bude Mami, begitu ibu bilang.”
Mas Rizal yang sedang duduk di sofa ruang tengah
kulihat masih tak berhenti menyeka kepalanya
sembari membuka bajunya yang rada basah. Aku
yang telah menyiapkan segelas kopi susu panas
menghampirinya. Saat aku hampir meninggalkan
ruang tengah, kudengar Mas Rizal memanggilku.
Kembali aku menghampirinya.
“Kamu tiba-tiba membikinkan aku minuman
hangat, padahal aku tidak menyuruhmu kan”, ucap
Mas Rizal sembari bangkit dari tempat duduknya.
“Santi, aku mau bilang bahwa aku menyukaimu.”
“Maksud Mas Rizal bagaimana?”
“Apa aku perlu jelaskan?” sahut Mas rizal padaku.
Tanpa sadar aku kini berhadap-hadapan dengan
Mas Rizal dengan jarak yang sangat dekat, bahkan
bisa dikatakan terlampau dekat. Mas Rizal meraih
kedua tanganku untuk digenggamnya, dengan
sedikit tarikan yang dilakukannya maka tubuhku
telah dalam posisi sedikit terangkat merapat di
tubuhnya. Sudah pasti dan otomatis pula aku
semakin dapat menikmati wajah ganteng yang
rada basah akibat guyuran hujan tadi. Demikian
pula Mas Rizal yang semakin dapat pula menikmati
wajah bulatku yang dihiasi bundarnya bola mataku
dan mungilnya hidungku.
Kami berdua tak bisa berkata-kata lagi, hanya saling
melempar pandang dengan dalam tanpa tahu rasa
masing-masing dalam hati. Tiba-tiba entah karena
dorongan rasa yang seperti apa dan bagaimana
bibir Mas Rizal menciumi setiap lekuk mukaku yang
segera setelah sampai pada bagian bibirku, aku
membalas pagutan ciumannya. Kurasakan tangan
Mas Rizal merambah naik ke arah dadaku, pada
bagian gumpalan dadaku tangannya meremas
lembut yang membuatku tanpa sadar mendesah
dan bahkan menjerit lembut. Sampai disini begitu
campur aduk perasaanku, aku merasakan nikmat
yang berlebih tapi pada bagian lain aku merasakan
nikmat yang berlebih tapi pada bagian lain aku
merasakan takut yang entah bagaimana aku harus
melawannya. Namun campuran rasa yang
demikian ini segera terhapus oleh rasa nikmat yang
mulai bisa menikmatinya, aku terus melayani dan
membalas setiap ciuman bibirnya yang di arahkan
pada bibirku berikut setiap lekuk yang ada di
dadaku dijilatinya. Aku semakin tak kuat menahan
rasa, aku menggelinjang kecil menahan desakan
dan gelora yang semakin memanas.
Ia mulai melepas satu demi satu kancing baju yang
kukenakan, sampailah aku telanjang dada hingga
buah dada yang begitu ranum menonjol dan
memperlihatkan diri pada Mas Rizal. Semakin saja
Mas Rizal memainkan bibirnya pada ujung buah
dadaku, dikulumnya, diciuminya, bahkan ia
menggigitnya. Golak dan getaran yang tak pernah
kurasa sebelumnya, aku kini melayang, terbang,
aku ingin menikmati langkah berikutnya, aku
merasakan sebuah kenikmatan tanpa batas untuk
saat ini.
Aku telah mencoba untuk memerangi gejolak yang
meletup bak gunung yang akan memuntahkan isi
kawahnya. Namun suara hujan yang kian
menderas, serta situasi rumah yang hanya tinggal
kami berdua, serta bisik goda yang aku tak tahu
darimana datangnya, kesemua itu membuat kami
berdua semakin larut dalam permainan cinta ini.
Pagutan dan rabaan Mas Rizal ke seluruh tubuhku,
membuatku pasrah dalam rintihan kenikmatan
yang kurasakan. Tangan Mas Rizal mulai mereteli
pakaian yang dikenakan, ia telanjang bulat kini. Aku
tak tahan lagi, segera ia menarik dengan keras
celana dalam yang kukenakan. Tangannya terus
saja menggerayangi sekujur tubuhku. Kemudian
pada saat tertentu tangannya membimbing
tanganku untuk menuju tempat yang diharapkan,
dibagian bawah tubuhnya. Mas Rizal terdengar
merintih.Buah dadaku yang mungil dan padat tak
pernah lepas dari remasan tangan Mas Rizal.
Sementara tubuhku yang telah telentang di bawah
tubuh Mas Rizal menggeliat-liat seperti cacing
kepanasan. Hingga lenguhan di antara kami mulai
terdengar sebagai tanda permainan ini telah usai.
Keringat ada di sana-sini sementara pakaian kami
terlihat berserakan dimana-mana. Ruang tengah ini
menjadi begitu berantakan terlebih sofa tempat
kami bermain cinta denga penuh gejolak.
Ketika senja mulai datang, usailah pertempuran
nafsuku dengan nafsu Mas Rizal. Kami duduk di
sofa, tempat kami tadi melakukan sebuah
permainan cinta, dengan rasa sesal yang masing-
masing berkecamuk dalam hati. “Aku tidak akan
mempermainkan kamu, Santi. Aku lakukan ini
karena aku mencintai kamu. Aku sungguh-
sungguh, Santi. Kamu mau mencintaiku kan..?”
Aku terdiam tak mampu menjawab sepatah
katapun.
Mas Rizal menyeka butiran air bening di sudut
mataku, lalu mencium pipiku. Seolah dia
menyatakan bahwa hasrat hatinya padaku adalah
kejujuran cintanya, dan akan mampu membuatku
yakin akan ketulusannya. Meski aku tetap bertanya
dalam sesalku, “Mungkinkah Mas Rizal akan
sanggup menikahiku yang hanya seorang
pembantu rumahtangga?”
Sekitar pukul 19.30 malam, barulah rumah ini tak
berbeda dengan waktu-waktu kemarin. Bapak dan
Ibu Rahadi seperti biasanya tengah menikmati
tayangan acara televisi, dan Mas Rizal mendekam di
kamarnya. Yah, seolah tak ada peristiwa apa-apa
yang pernah terjadi di ruang tengah itu.
Sejak permainan cinta yang penuh nafsu itu
kulakukan dengan Mas Rizal, waktu yang
berjalanpun tak terasa telah memaksa kami untuk
terus bisa mengulangi lagi nikmat dan indahnya
permainan cinta tersebut. Dan yang pasti aku
menjadi seorang yang harus bisa menuruti
kemauan nafsu yang ada dalam diri. Tak peduli lagi
siang atau malam, di sofa ataupun di dapur,
asalkan keadaan rumah lagi sepi, kami selalu
tenggelam hanyut dalam permainan cinta denga
gejolak nafsu birahi. Selalu saja setiap kali aku
membayangkan sebuah gaya dalam permainan
cinta, tiba-tiba nafsuku bergejolak ingin segera saja
rasanya melakukan gaya yang sedang melintas
dalam benakku tersebut. Kadang aku pun
melakukannya sendiri di kamar dengan
membayangkan wajah Mas Rizal. Bahkan ketika di
rumah sedang ada Ibu Rahadi namun tiba-tiba
nafsuku bergejolak, aku masuk kamar mandi dan
memberi isyarat pada Mas Rizal untuk
menyusulnya. Untung kamar mandi bagi
pembantu di keluarga ini letaknya ada di belakang
jauh dari jangkauan tuan rumah. Aku
melakukannya di sana dengan penuh gejolak di
bawah guyuran air mandi, dengan lumuran busa
sabun di sana-sini yang rasanya membuatku
semakin saja menikmati sebuah rasa tanpa batas
tentang kenikmatan.
Walau setiap kali usai melakukan hal itu dengan Mas
Rizal, aku selalu dihantui oleh sebuah pertanyaan
yang itu-itu lagi dan dengan mudah mengusik
benakku: “Bagaimana jika aku hamil nanti?
Bagaimana jika Mas Rizal malu mengakuinya,
apakah keluarga Bapak Rahadi mau merestui kami
berdua untuk menikah sekaligus sudi menerimaku
sebagai menantu? Ataukah aku bakal di usir dari
rumah ini? Atau juga pasti aku disuruh untuk
menggugurkan kandungan ini?” Ah.. pertanyaan ini
benar-benar membuatku seolah gila dan ingin
menjerit sekeras mungkin. Apalagi Mas Rizal
selama ini hanya berucap: “Aku mencintaimu,
Santi.” Seribu juta kalipun kata itu terlontar dari
mulut Mas Rizal, tidak akan berarti apa-apa jika Mas
Rizal tetap diam tak berterus terang dengan
keluarganya atas apa yang telah terjadi dengan
kami berdua.
Akhirnya terjadilah apa yang selama ini kutakutkan,
bahwa aku mulai sering mual dan muntah, yah..
aku hamil! Mas Rizal mulai gugup dan panik atas
kejadian ini.
“Kenapa kamu bisa hamil sih?” Aku hanya diam tak
menjawab.
“Bukankah aku sudah memberimu pil supaya
kamu nggak hamil. Kalau begini kita yang repot
juga…”
“Kenapa mesti repot Mas? Bukankah Mas Rizal
sudah berjanji akan menikahi Santi?”
“Iya.. iya.. tapi tidak secepat ini Santi. Aku masih
mencintaimu, dan aku pasti akan menikahimu, dan
aku pasti akan menikahimu. Tetapi bukan sekarang.
Aku butuh waktu yang tepat untuk bicara dengan
Bapak dan Ibu bahwa aku mencintaimu…”
Yah… setiap kali aku mengeluh soal perutku yang
kian bertambah usianya dari hari ke hari dan
berganti dengan minggu, Mas Rizal selalu
kebingungan sendiri dan tak pernah mendapatkan
jalan keluar. Aku jadi semakin terpojok oleh kondisi
dalam rahim yang tentunya kian membesar.
Genap pada usia tiga bulan kehamilanku,
keteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki pergi
dari rumah keluarga Bapak Rahadi. Kutinggalkan
semua kenangan duka maupun suka yang selama
ini kuperoleh di rumah ini. Aku tidak akan
menyalahkan Mas Rizal. Ini semua salahku yang tak
mampu menjaga kekuatan dinding imanku.
Subuh pagi ini aku meninggalkan rumah ini tanpa
pamit, setelah kusiapkan sarapan dan sepucuk
surat di meja makan yang isinya bahwa aku pergi
karena merasa bersalah terhadap keluarga Bapak
Rahadi.
Hampir setahun setelah kepergianku dari keluarga
Bapak Rahadi, Aku kini telah menikmati
kehidupanku sendiri yang tak selayaknya aku jalani,
namun aku bahagia. Hingga pada suatu pagi aku
membaca surat pembaca di tabloid terkenal. Surat
itu isinya bahwa seorang pemuda Rizal mencari
dan mengharapkan isterinya yang bernama Santi
untuk segera pulang. Pemuda itu tampak sekali
berharap bisa bertemu lagi dengan si calon
isterinya karena dia begitu mencintainya.
Aku tahu dan mengerti benar siapa calon isterinya.
Namun aku sudah tidak ingin lagi dan pula aku tidak
pantas untuk berada di rumah itu lagi, rumah
tempat tinggal pemuda bernama Rizal itu. Aku
sudah tenggelam dalam kubangan ini. Andai saja
Mas Rizal suka pergi ke lokalisasi, tentu dia tidak
perlu harus menulis surat pembaca itu. Mas Rizal
pasti akan menemukan calon istrinya yang sangat
dicintainya. Agar Mas Rizal pun mengerti bahwa
hingga kini aku masih merindukan kehangatan
cintanya. Cinta yang pertama dan terakhir bagiku.


Adult | GO HOME | Exit
1/706
U-ON

inc Powered by Xtgem.com